21.5.09

KOTBAH PASKAH 2009

II KORINTUS 4:1- 5: 10

Bapak/ibu yang terkasih dalam Tuhan, Siapa yang tidak sedih jika kehilangan orang yang dicintai, jika kehilangan orang yang dikasihi? Ada yang menangis ketika menghadapi suatu kenyaataan di mana orang yang dikasihinya di panggil oleh Sang Pencipta. Ada yang berteriak, ada marah, ada yang diam seribu bahasa dan memendam perasaan sedih itu di dalam hatinya.


Saya tidak akan membahas bagaimana cara atau metode yang paling pas dalam menghadapi duka cita, saya tidak menganjurkan untuk menangis misalnya, atau bersabar, dan lain sebagainya. Namun saya ingin kita “belajar memandang kematian”. Mengapa kita perlu untuk belajar memandang kematian, karena selama ini banyak orang yang lebih memilih untuk memalingkan pandangannya dari kematian, misalnya ada seorang suami yang begitu mencintai istrinya, namun suatu hari Tuhan mengambil istrinya tersebut dalam sebuah kecelakaan, dan sejak hari itu sang suami menyalahkan Tuhan karena menurutnya Tuhan telah berlaku tidak adil padanya. Sang suami ini memalingkan pandangannya dari kematian, ia tidak berani menerima kenyataan bahwa istrinya telah meninggal, sehingga ia mencari alasan untuk menenangkan gejolak hatinya itu.


Yang saya maksudkan dengan Belajar memandang kematian adalah menyadari dan memahami dengan benar apa itu kematian. Pemahaman yang benar terhadap suatu hal akan menghasilkan tindakan atau respon yang tepat menghadapi hal tersebut. Dengan kata lain tepat-tidaknya respon kita menghadapi kematian dan dukacita tergantung pada benar atau tidak pemahaman kita tentang kematian itu.

Mari kita lihat dalam pembacaan kita; Rasul Paulus mengatakan bahwa:

1. (4:18) Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal.
Coba perhatikan wajah-wajah yang ada disekitar kita. Ada wajah kanak-kanak, remaja, dewasa dan orang tua. Semua itu tidaklah kekal. Semua itu akan musnah! Lalu apa yang tersisah? Yang tidak kelihatan (ROH)

2. (5:1) Karena kami tahu, bahwa jika kemah tempat kediaman kita di bumi ini dibongkar, Allah telah menyediakan suatu tempat kediaman di sorga bagi kita, suatu tempat kediaman yang kekal, yang tidak dibuat oleh tangan manusia.
Kiamat itu pasti terjadi. Semua yang ada disekitar kita, dalam bentuk apapun. Akan musnah, jadi apapun usaha manusia menghindari kematian akan sia-sia.

3. (5:5) Tetapi Allahlah yang justru mempersiapkan kita untuk hal itu dan yang mengaruniakan Roh, kepada kita sebagai jaminan segala sesuatu yang telah disediakan bagi kita.
Manusia adalah makhluk yang abadi. Ingat kisah penciptaan? Allah menciptakan manusia dengan dua unsur. Unsur yang pertama adalah tanah liat, unsur yang kedua adalah NAFAS dari Allah. Mengapa manusia saya katakana makhluk yang abadi, sebab dari semua ciptaan, hanya manusia yang mendapatkan hembusan nafas Allah dalam dirinya (ROH). Allah adalah abadi, dan karena itu manusia juga abadi. Lalu bagaimana dengan kematian? Ini yang penting kita renungkan!

Ada doa yang biasa disebut oleh saudara-saudara kita yang muslim ketika mendengar berita dukacita; innalillahi wa innalillahi roji’un artinya segala sesuatu dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Dengan kata lain kematian adalah perjalanan pulang seorang manusia kepada penciptanya. Bukan akhir dari segala-galanya. Kalau pemahaman ini tertanam dalam diri kita, maka kita pasti akan mampu merespon kematian dan dukacita dengan tepat. Bahkan lebih luar biasa bagi kita orang-orang yang percaya kepada Kristus, Yesus sendiri menjadi jaminan bahwa perjalanan itu akan sampai pada tujuan selama bersama dengan Dia.

No comments:

Post a Comment