21.7.09

PERNIKAHAN KEDUA TERANCAM BUBAR

Pernikahan Kedua terancam Bubar

Tanya:

Bapak Pendeta yang saya hormati, pernikahan saya yang kedua terancam bubar, dan saat ini suami saya sedang mengurus perceraian kami. Saya pernah menikah saat usia 22 tahun. Empat tahun menikah, kami bercerai karena saya merasa tidak cocok. Setahun setelah bercerai saya menikah lagi. Suami dan saya berbeda kepercayaan, ini bukan masalah karena sejak awal kami sudah membuat kesepakatan tentang perbedaan iman ini. Pernikahan yang semula saya harapkan lebih baik ternyata juga berjalan tidak mulus. Suasana pernikahan yang harmonis hanya menjadi impian, karena tiada hari tanpa berselisih paham. Saat ini merupakan tahun ketiga pernikahan kami dan suami saya sedang menuntut cerai dengan alasan tidak ada lagi kecocokan. Saya berupaya supaya kami tidak bercerai. Sudah 4 bulan kami pisah rumah dan rasanya memang sulit mempertahankan rumah tangga ini. Saya berpikir, mungkin perceraian memang jalan yang terbaik?

Lily


Jawab:

LILY, tidak ada individu yang ingin gagal dalam pernikahan, setiap orang ingin pernikahan yang langgeng dan bahagia. Namun tidak jarang dijumpai realita yang tidak sesuai dengan harapan, sehingga munculah konflik-konflik dalam rumah tangga. Ketika masalah terjadi maka ada yang kemudian mencoba memperbaiki, ada yang bertahan tanpa melakukan apa-apa, tapi ada juga yang kemudian (tanpa melakukan upaya tertentu) langsung terpikir dan memutuskan untuk berpisah/bercerai. Dalam keputusan bercerai yang diambil, mungkin ada juga harapan bahwa ini menjadi pengalaman yang berharga untuk kesempatan di masa depan, pengalaman yang bisa menjadi modal untuk mendapatkan kebahagiaan, sehingga banyak yang kemudian memberanikan diri untuk terikat kembali dalam lembaga pernikahan, dengan harapan kali ini akan lebih baik. Namun tidak jarang kembali mendapati realita yang tidak sesuai dengan harapan. Mengapa ini bisa terjadi?

1) Dalam memulai pernikahan, alasan untuk mendapatkan kebahagian ternyata tidak cukup.Ada hal lain yang perlu dipikirkan ketika seseorang akan menikah kembali. Di antaranya yang perlu dipikirkan adalah kesiapan secara mental. Kesiapan secara mental berkaitan dengan apakah berdasarkan pengalaman masa lalu, saya bisa menerima kelebihan dan kekurangan pasangan dalam mengerjakan pernikahan, dan membuat pernikahan menjadi sarana pertumbuhan individu menjadi individu yang dewasa. Karena perlu disadari tidak ada satu pun pasangan yang benar-benar cocok dan bebas dari masalah.

2) Berikutnya adalah kenyataan akan setiap individu dalam pernikahan yang membawa pola-pola dan pengalaman dari keluarga asal. Pola dan pengalaman keluarga asal ini akan menentukan bagaimana pola relasi keduanya dalam pernikahan. Konflik muncul karena seringkali pola dan pengalaman relasi yang dibawa berbeda.

3) Hal lain adalah setiap individu ternyata mempunyai kebutuhan utama (primary need), yang belum tentu bisa dikenali oleh pasangan dalam pernikahan. Ada individu yang kebutuhan utama bertahan hidup, atau dikasihi, atau kekuasaan atau sukses,atau kebutuhan utamanya kebebasan, atau mendapatkan kesenangan. Ketika pernikahan hanya menjadi sarana pemenuhan kebutuhan tiap individu di dalamnya yang berbeda, maka saat individu tersebut tidak mendapatkan kebutuhan utama dari pasangannya, yang terjadi adalah kekecewaan demi kekecewaan, yang bisa menimbulkan rasa ketidakcocokan. Ini bisa terjadi ketika pola komunikasi yang dibangun tidak sehat, di mana kesempatan mengenal pasangan secara personal akhirnya tidak terbangun.

4) Perbedaan iman, walaupun sudah disadari sejak awal, ternyata (tanpa disadari) bisa menimbulkan respon yang berbeda dalam menyelesaikan suatu masalah. Kalaupun secara kepribadian ternyata ada banyak perbedaan yang muncul, tentunya ketika memiliki iman yang sama paling tidak ada kesamaan sikap dan keyakinan dalam hal menjembatani perbedaan tersebut. Ada satu titik berpijak yang sama ketika memikirkan jalan keluar dari masalah yang terjadi. Oleh sebab itu firman Tuhan menyatakan “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya (2 Kor 6:14)”, merupakan sebuah peringatan untuk tidak memandang ringan perbedaan iman. Walaupun sering kali muncul dalam pikiran kita siapa tahu melalui pernikahan, pasangan akhirnya mau menjadi satu iman dengan kita.

Melihat keempat hal tersebut di atas, perlu disadari di mana posisi Ibu saat ini sebelum mengambil keputusan lebih lanjut. Tuhan kiranya menolong Anda

No comments:

Post a Comment